KARYA JATI KLATEN.........To get the RIGHT FURNITURE you have to ask to the RIGHT PRODUCER

Karya Jati......dari Klaten menyapa Dunia

Dari tangan kreatif semua kami cipta dengan kualitas dan nuansa artistik yang mengagumkan.
Menyatu dengan alam mensinergikan dengan pikiran hingga terciptalah hasil terbaik anak negeri.
Semua kami hadirkan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan anda.
Bergabunglah bersama kami dalam menciptakan kenyamanan hidup dengan nuansa kemewahan yang penuh keharmonisan.
semuanya dikerjakan secara rapi dan detail oleh ahlinya di berbagai bidang.
Dan.....................segera datang dan konsultasikan kebuntuan anda akan keteraturan ruang dalam hidup anda bersama keluarga
Tentunya .....hanya di KARYA JATI

Minggu, 29 Agustus 2010

Pentingnya Perencanaan Investasi


EUREKA
(Edukasi dan Ulasan Perencanaan Keuangan)
Pengasuh: Tim Indonesia School of Life (In-SchooL)
http://www.in-school.org/


Untuk apa investasi direncanakan ?
Orang tua kita tidak melakukan itu toh tetap bisa hidup! Biarkan saja seperti air mengalir ! Apa benar demikian ?
Coba simak ilustrasi berikut ini !
Untuk mendapat manfaat maksimum dari ilustrasi ini diperlukan konsentrasi dan kejujuran Anda dalam menjawab pertanyaan dalam ilustrasi ini. Dilarang menggunakan kalkulator atau sempoa atau alat bantu hitung lain dalam menjawab pertanyaan dalam ilustrasi berikut ini!
Anda siap ?
Mari kita mulai !
Misalkan Anda memiliki uang tunai sejumlah Rp 1 juta. Uang tersebut disimpan dalam bentuk deposito di bank dengan bunga sebesar 10 persen per tahun. Bunga dibayar tiap akhir tahun dan ditambahkan kepada pokok deposito untuk dideposito kembali pada tahun berikutnya. Deposito plus bunganya terus diinvestasikan sampai pada akhir tahun ke-30 dengan bunga konstan 10 persen per tahun. Pertanyaannya: Berapa jumlah uang Anda pada akhir tahun ketiga puluh ?
Untuk membantu Anda menjawab pertanyaan ini, berikut ini proses perhitungannya untuk tahun pertama dan kedua. Pada akhir tahun pertama, jumlah uang Anda bertambah sebesar Rp 0,1 juta yaitu 10 persen dari Rp 1 juta, sehingga jumlah totalnya menjadi Rp 1,1 juta. Pada akhir tahun kedua, jumlah uang Anda bertambah lagi sebesar Rp 0,11 juta yaitu Rp 10 persen dari Rp 1,1 juta, sehingga jumlah totalnya menjadi menjadi Rp 1,21 juta. Begitu seterusnya sampai dengan akhir tahun ke tiga puluh. Kembali ke pertanyaan awal: Berapa jumlah uang Anda pada akhir tahun ketigapuluh ? Ingat yang ditanya adalah jumlah uangnya bukan rumusnya (yaitu 1,130 [satu koma satu pangkat tiga puluh] juta)! Jangan lanjutkan ke paragraf berikutnya sebelum Anda menjawab pertanyaan tersebut.
Oke, Anda sudah punya perkiraan jawaban versi Anda? Silakan melanjutkan ke paragraf berikutnya.
Pertanyaan tersebut telah kami ajukan dalam banyak seminar / lokakarya investasi. Sebagian besar peserta menyebut angka antara Rp 4 juta sampai Rp 10 juta. Logikanya kira-kira sebagai berikut. Tiap tahun uang bertambah sekitar Rp 100 ribu-an lebih, sehingga dalam 30 tahun bertambah sekitar Rp 3 jutaan lebih. Jadi ditambah dana awal Rp 1 juta, jumlah akhirnya sekitar Rp 4 jutaan lebih. Sayang sekali logika kira-kira tersebut salah besar. Jawaban yang benar adalah pada akhir tahun ketigapuluh jumlah total uang Anda menjadi tujuh belas juta empat ratus empat sembilan ribu empat ratus dua rupiah (sengaja ditulis dengan kata-kata, bukan dengan angka, supaya tidak mudah dicontek).
Pelajaran dari ilustrasi tersebut adalah, banyak orang under-estimate (memperkirakan terlalu rendah) kemampuan uang menghasilkan uang dalam jangka panjang. Ilustrasi ini belum selesai, masih ada kelanjutannya. Seperti dalam kasus pertama, Anda diminta menjawab pertanyaan pada kasus kedua tanpa menggunakan kalkulator atau sempoa atau alat bantu hitung lainnya.
Dalam kasus pertama, uang Anda sebesar Rp 1 juta diinvestasikan dengan bunga 10 persen per tahun selama 30 tahun, sehingga menghasilkan tujuh belas juta empat ratus empat sembilan ribu empat ratus dua rupiah. Untuk kasus kedua, dana awalnya tetap Rp 1 juta, bunga tetap tidak diambil jadi ditambahkan pada dana awal, namun bunganya dinaikkan 2 kali lipat menjadi 20 persen per tahun dan lama waktu investasinya diperpanjang menjadi 40 tahun. Pertanyaannya, pada akhir tahun ke empat puluh, berapa jumlah uang Anda?
Jangan lanjutkan ke paragraf berikutnya sebelum Anda menjawab pertanyaan tersebut.
Oke, Anda sudah punya perkiraan jawaban versi Anda? Silakan melanjutkan ke halaman berikutnya.
Setelah melakukan kesalahan perkiraan pada kasus pertama, semestinya Anda sudah lebih trampil dan akurat memperkirakan jawaban bagi pertanyaan kasus kedua ini bukan? Logisnya sih begitu. Namun, berdasarkan pengalaman kami memberikan pertanyaan ini di banyak seminar atau lokakarya, kenyataannya tidak begitu. Justru pada kasus kedua ini jawaban yang diajukan banyak orang lebih besar kesalahannya dibandingkan jawaban pada kasus pertama.
Sebagian besar peserta menyebutkan angka antara Rp 40 juta sampai Rp 100 juta. Logika yang digunakan kira-kira sebagai berikut. Untuk kasus pertama (Rp 1 juta, 10 persen per tahun, 30 tahun) diperoleh jawaban sekitar Rp 17,5 juta. Oleh karena itu, untuk kasus kedua (Rp 1 juta, 20 persen per tahun, 40 tahun), berawal dari angka Rp 17,5 juta, dengan bunga 2 kali lipat (dari 10 persen menjadi 20 persen), angka itu menjadi 2 x Rp 17.5 juta yaitu Rp 35 juta. Kemudian, dengan mempertimbangkan faktor peningkatan lama waktu dari 30 tahun menjadi 40 tahun, angka Rp 35 juta meningkat menjadi sekitar Rp 50 juta. Kalau menggunakan logika garis lurus (linear), logisnya memang begitu. Namun, dunia investasi tidaklah bekerja menurut garis lurus. Jawaban yang benar adalah satu miliar empat ratus enam puluh sembilan juta tujuh ratus tujuh puluh satu ribu lima ratus enam puluh delapan rupiah. Ya benar, tidak salah cetak! Jawabannya mendekati satu setengah miliar rupiah.
Untuk kedua kalinya sebagian besar orang (mungkin sekali termasuk Anda) under-estimate kemampuan uang menghasilkan uang dalam jangka panjang. Perbedaan yang sepintas terlihat sedikit (hanya 20 – 10 persen = 10 persen per tahun) bila diakumulasi dalam jangka waktu yang cukup panjang (dalam kasus ini 40 tahun) akan menyebabkan perbedaan hasil akhir hampir seratus kali lipat !
Pelajaran dari ilustrasi tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, sebagian besar orang under-estimate manfaat investasi dalam jangka panjang. Kedua, dengan bekerja sedikit lebih cerdas (dari 10 persen menjadi 20 persen per tahun) dan lebih keras (dari 30 tahun menjadi 40 tahun), hasil investasi yang Anda peroleh dalam jangka panjang bisa berbeda sangat jauh. Perencanaan investasi yang baik dan dilakukan secara ulet dalam jangka panjang dapat membuat perbedaan hasil akhir yang luar biasa besarnya !
Jelas sekali dari contoh di atas, bahwa konsep investasi jangka panjang dengan pola bunga-berbunga memberikan keuntungan yang besar. Tapi mengapa banyak orang yang gagal untuk memanfaatkan keuntungan dari konsep ini? Karena konsep ini adalah sebuah proses bukan hasil. Seperti halnya perencanaan keuangan yang Anda kembangkan, itu merupakan proses bukan hasil akhir. Banyak orang yang tidak memahami untuk mencapai tujuan akhir tentunya harus melalui proses. Seorang juara marathon kelas dunia, harus berlatih keras agar dapat menjadi yang terbaik. Prosesnya bagi mereka adalah berlatih dengan giat.
Konsep bunga berbunga bukan merupakan persamaan linear. Tapi itu merupakan fungsi geometrik. Fungsi linear adalah 1, 2, 3, 4 dan seterusnya. Sedangkan fungsi geometrik adalah 1, 2, 4, 8, 16, 32 dan seterusnya. Perhatikan bahwa perkembangannya akan semakin besar dengan berjalannya waktu. Jelas sekali disini bahwa compound interest sangat menguntungkan.

Jangan memutus rantai Bunga-berbunga (jangka panjang)
Dibutuhkan waktu untuk melihat dampak yang dinamis dari konsep bunga berbunga. Oleh karena itu, kami anjurkan agar Anda jangan pernah memutuskan rantai dari konsep bunga berbunga. Apa yang terjadi bila Anda memutuskannya? Maka Anda akan kembali ke kurva awal.
Bila Anda memutuskan rantai bunga berbunga maka Anda harus memulainya dari awal kembali. Lihat grafik berikut ini:
Memiliki tujuan keuangan jangka panjang dengan pola investasi regular menjadi sangat penting dan konsep bunga berbunga akan memberikan hasil yang lebih baik dalam jangka panjang. perspektif investasi jangka panjang menjadi solusi terbaik untuk mencapai tujuan keuangan yang diinginkan. Bila Anda TIDAK memutus rantai bunga berbunga maka hasilnya akan dirasakan sangat besar di 3 tahun terakhir. Lihat grafik berikut ini:
Tahun 5 10
Banyak orang yang gagal untuk mempertahankan rantai bunga berbunga karena berbagai hal. Hal ini mungkin saja terjadi karena diawal-awal tahun perkembangan dari investasi dirasa sangat lambat, membosankan. Sehingga mereka memutuskan untuk mencairkannya.
Saran yang bisa kami sampaikan adalah miliki tujuan keuangan yang spesifik, karena dengan adanya tujuan tersebut akan lebih memotivasi Anda untuk tetap mempertahankan investasi sampai jangka waktu yang diinginkan. Apalagi bila tujuan tersebut adalah tujuan jangka panjang.
Semoga ulasan ini membuka mata kita semua akan dampak bunga berbunga terhadap investasi yang kita tempatkan. Akhir kata, ada tiga hal yang bisa mempercepat pertumbuhan investasi yang Anda miliki, pertama adalah modal awal yang ditempatkan. Tapi itu bukanlah segalanya. Anda bisa melakukan dengan berkala.
Kedua, adalah tingkat pengembalian. Tentunya semakin tinggi ekspektasi tingkat keuntungan akan berdampak juga terhadap kenaikan risikonya.
Sesuaikan dengan toleransi risiko Anda, jangka waktu serta kebutuhan akan tingkat likuiditas. Dan terakhir adalah waktu. Saran kami, lakukan program menabung sedini mungkin, manfaatkan dampak compound interest dengan waktu yang Anda miliki.
oleh : Arief Kh. Syaifulloh

Selasa, 24 Agustus 2010

Legenda REOG PONOROGO dan WAROK

reog151
Pertunjukan Reog Ponorogo © 2005 arie saksono

Salah satu ciri khas seni budaya Kabupaten Ponorogo Jawa Timur adalah kesenian Reog Ponorogo. Reog, sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan serta tak lepas pula dari dunia mistis dan kekuatan supranatural. Reog mempertontonkan keperkasaan pembarong dalam mengangkat dadak merak seberat sekitar 50 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung. Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis, unik, eksotis serta membangkitkan semangat. Satu group Reog biasanya terdiri dari seorang Warok Tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlah kelompok reog berkisar antara 20 hingga 30-an orang, peran utama berada pada tangan warok dan pembarongnya.

reog241
Pembarong dengan Dadak Merak © 2005 arie saksono

Seorang pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan rahang yang baik, untuk menahan dengan gigitannya beban “Dadak Merak” yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai 50-an kilogram selama masa pertunjukan. Konon kekuatan gaib sering dipakai pembarong untuk menambah kekuatan ekstra ini, salah satunya dengan cara memakai susuk, di leher pembarong. Untuk menjadi pembarong tidak cukup hanya dengan tubuh yang kuat. Seorang pembarong pun harus dilengkapi dengan sesuatu yang disebut kalangan pembarong dengan wahyu yang diyakini para pembarong sebagai sesuatu yang amat penting dalam hidup mereka. Tanpa diberkati wahyu, tarian yang ditampilkan seorang pembarong tidak akan tampak luwes dan enak untuk ditonton. Namun demikian persepsi misitis pembarong kini digeser dan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan rasional. Menurut seorang sesepuh Reog, Mbah Wo Kucing “Reog itu nggak perlu ndadi. Kalau ndadi itu ya namanya bukan reog, itu jathilan. Dalam reog, yang perlu kan keindahannya“.

Legenda Cerita Reog

Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah kemudian membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang oleh sebagian besar masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati Batorokatong yang beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan agama Islam. Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang bermakna walaupun sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah, maka surga jaminannya. Selanjutnya kesenian reog terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng Mirah yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.

Menurut legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai harimau sedangkan merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri. Selain itu agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati Batorokatong yang memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, reog mulai berkembang menjadi kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan reog untuk mengembangkan kekuasaannya.

Reog mengacu pada beberapa babad, Salah satunya adalah babad Kelana Sewandana. Babad Klana Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan reog. Mirip kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Lara Jongrang, Babad Klono Sewondono juga berkisah tentang cinta seorang raja, Sewondono dari Kerajaan Jenggala, yang hampir ditolak oleh Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang putri meminta Sewondono untuk memboyong seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kawin. Demi memenuhi permintaan sang putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa Barong (dadak merak). Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit, dan patih dari Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan cemeti pusaka Samandiman, Sewondono turun sendiri ke gelanggang dan mengalahkan Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan dengan tarian para prajurit yang tak cuma didominasi para pria tetapi juga wanita, gerak bringasan para warok, serta gagah dan gebyar kostum Sewandana, sang raja pencari cinta.

Versi lain dalam Reog Ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang setia, Pujangganong. Ketika pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri, Dewi Sanggalangit, sang dewi memberi syarat bahwa ia akan menerima cintanya apabila sang prabu bersedia menciptakan sebuah kesenian baru. Dari situ terciptalah Reog Ponorogo. Huruf-huruf reyog mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: Rasa kidung/ Ingwang sukma adiluhung/ Yang Widhi/ Olah kridaning Gusti/ Gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa. Unsur mistis merupakan kekuatan spiritual yang memberikan nafas pada kesenian Reog Ponorogo.

Warok

Warok sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Seorang warok konon harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.

reog231
Warok dalam pertunjukan Reog Ponorogo © 2005 arie saksono

Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara kebaikan dan kejahatan dalam cerita kesenian reog. Warok Tua adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Hingga saat ini, Warok dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok. Warok adalah sosok dengan stereotip: memakai kolor, berpakaian hitam-hitam, memiliki kesaktian dan gemblakan.Menurut sesepuh warok, Kasni Gunopati atau yang dikenal Mbah Wo Kucing, warok bukanlah seorang yang takabur karena kekuatan yang dimilikinya. Warok adalah orang yang mempunyai tekad suci, siap memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. “Warok itu berasal dari kata wewarah. Warok adalah wong kang sugih wewarah. Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik”.“Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa” (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).

Syarat menjadi Warok

Warok harus menjalankan laku. “Syaratnya, tubuh harus bersih karena akan diisi. Warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan. Persyaratan lainnya, seorang calon warok harus menyediakan seekor ayam jago, kain mori 2,5 meter, tikar pandan, dan selamatan bersama. Setelah itu, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok. Warok sejati pada masa sekarang hanya menjadi legenda yang tersisa. Beberapa kelompok warok di daerah-daerah tertentu masih ada yang memegang teguh budaya mereka dan masih dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani, bahkan kadang para pejabat pemerintah selalu meminta restunya.

Gemblakan

Selain segala persyaratan yang harus dijalani oleh para warok tersebut, selanjutnya muncul disebut dengan Gemblakan. Dahulu warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yaitu lelaki belasan tahun usia 12-15 tahun berparas tampan dan terawat yang dipelihara sebagai kelangenan, yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman reog. Bagi seorang warok hal tersebut adalah hal yang wajar dan diterima masyarakat. Konon sesama warok pernah beradu kesaktian untuk memperebutkan seorang gemblak idaman dan selain itu kadang terjadi pinjam meminjam gemblak. Biaya yang dikeluarkan warok untuk seorang gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah maka warok yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping memberinya makan dan tempat tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak bersekolah maka setiap tahun warok memberikannya seekor sapi. Dalam tradisi yang dibawa oleh Ki Ageng Suryongalam, kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok rela tidak berhubungan seksual dengan perempuan. Hal itu konon merupakan sebuah keharusan yang berasal dari perintah sang guru untuk memperoleh kesaktian.

Kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak dipercaya agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Selain itu ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan biarpun dengan istri sendiri, bisa melunturkan seluruh kesaktian warok. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan merupakan ciri khas hubungan khusus antara gemblak dan waroknya. Praktik gemblakan di kalangan warok, diidentifikasi sebagai praktik homoseksual karena warok tak boleh mengumbar hawa nafsu kepada perempuan.

Saat ini memang sudah terjadi pergeseran dalam hubungannya dengan gemblakan. Di masa sekarang gemblak sulit ditemui. Tradisi memelihara gemblak, kini semakin luntur. Gemblak yang dahulu biasa berperan sebagai penari jatilan (kuda lumping), kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dahulu kesenian ini ditampilkan tanpa seorang wanita pun.

Reog di masa sekarang

Seniman Reog Ponorogo lulusan sekolah-sekolah seni turut memberikan sentuhan pada perkembangan tari reog ponorogo. Mahasiswa sekolah seni memperkenalkan estetika seni panggung dan gerakan-gerakan koreografis, maka jadilah reog ponorogo dengan format festival seperti sekarang. Ada alur cerita, urut-urutan siapa yang tampil lebih dulu, yaitu Warok, kemudian jatilan, Bujangganong, Klana Sewandana, barulah Barongan atau Dadak Merak di bagian akhir. Saat salah satu unsur tersebut beraksi, unsur lain ikut bergerak atau menari meski tidak menonjol. Beberapa tahun yang lalu Yayasan Reog Ponorogo memprakarsai berdirinya Paguyuban Reog Nusantara yang anggotanya terdiri atas grup-grup reog dari berbagai daerah di Indonesia yang pernah ambil bagian dalam Festival Reog Nasional. Reog ponorogo menjadi sangat terbuka akan pengayaan dan perubahan ragam geraknya.

© 2007 arie saksono

Dari Berbagai Sumber

Jumat, 20 Agustus 2010

DEPARTEMEN ASMINDO SOLORAYA


Program

Pengembangan Organisasi
Program ini dibagi kedalam dua kelompok, yaitu untuk kepentingan eskternal dan internal. Secara internal berbagai kegiatan dalam program ini mencakup diantaranya penyempurnaan struktur dan mekanisme kerja asosiasi, prosedur operasional, deskripsi kerja, inventarisasi perusahaan mebel di wilayah Solo, pendaftaran anggota baru dan pemutakhiran basis data anggota serta penyiapan agenda kerja untuk berbagai kegiatan seperti workshop dan pelatihan untuk anggota. Termasuk dalam program internal adalah terkait dengan aspek perencanaan dan pengelolaan keuangan asosiasi.Untuk pihak eksternal program ini difokuskan pada pengembangan jejaring dengan institusi lain (baik lokal, nasional maupun internasional), sosialisasi berbagai regulasi terkait, memelihara hubungan dengan media, serta mengembangkan kerjasama bisnis dengan berbagai perusahaan di luar Wilayah Solo untuk memperkuat rantai nilai industri mebel di wilayah ini.

Pengembangan Kapasitas Pelaku Industri Mebel
ASMINDO Solo Raya memotivasi anggotanya untuk terus mengembangkan profesionalisme, kualitas, produktivitas dan efisiensi dalam menghadapi pasar global melalui partisipasi mereka dalam berbagai workshop dan pelatihan peningkatan kemampuan.

Disamping itu, ASMINDO Solo Raya juga mengembangkan kerjasama dengan pemerintah, lembaga penelitian dan melakukan pendekatan serta kerjasama dengan berbagai lembaga internasional untuk mendapatkan dukungan dalam penyediaan teknologi, informasi pasar dan aspek-aspek terkait lainnya yang dibutuhkan oleh pelaku industri.

Pengembangan Pemasaran untuk Mendukung Industri
ASMINDO Solo Raya secara aktif mendampingi anggotanya untuk mengakses pasar melalui dukungan dan pengorganisasian partisipasi mereka dalam pameran dagang (baik skala nasional maupun internasional). Promosi industri mebel Solo dilakukan melalui pembuatan buku direktori, website dan alat promosi lainnya, yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran para buyer potensial dan masyarakat luas terkait dengan potensi sektor mebel yang dimiliki oleh Wilayah Solo.

Pengamanan Pasokan Bahan Baku
Bekerjasama dengan berbagai lembaga (nasional dan internasional), ASMINDO Solo Raya berupaya mengembangkan jejaring dengan para penyedia bahan baku untuk industri mebel (khususnya bahan baku kayu dan rotan), mendukung program peremajaan hutan dari pemerintah, dan mengidentifikasi kebutuhan bahan baku dari industri mebel guna memastikan keamanan pasokan bahan baku untuk industri mebel di Wilayah Solo.

Jasa Layanan

ASMINDO Certification Care (ACC) Solo
ACC merupakan salah satu unit layanan ASMINDO yang ditujukan untuk membantu para produsen mebel kayu guna memperoleh sertifikasi yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan pasar terhadap produk dengan bahan baku dari hutan lestari. Untuk dapat mengakses pasar ini para produsen harus mendapatkan sertifikasi yang diakui secara internasional seperti VLO (Verification of Legal Origin) dan FSC (Forest Stewardship Council).
Bekerjasama dengan Gainwood Consulting, ASMINDO Solo Raya menyediakan layanan ini, dan terbuka untuk anggota dan non anggota. Untuk mendapatkan layanan ini, silakan menghubungi:

ACC Solo Raya
Jl. Letjen Suprapto 80 B, Sumber, Banjarsari, Surakarta
Telp / Fax : 0271 – 735515
Email : asmindo_ska@yahoo.com
Contact : Otok Suryanto

Pengurusan Sertifikat ETPIK
(Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan)

Pemasaran dan Promosi


* Mengorganisasi dan mempromosikan Pameran Mebel ASMINDO Solo Raya (the ASMINDO Solo Raya’s Furniture Exhibition)
* Mengorganisasi partisipasi perusahaan-perusahaan anggota dalam berbagai pameran dagang (spt. IFFINA, PPE, IFFS) dan misi-misi dagang.

Informasi

Menyebarluaskan berbagai informasi terbaru yang relevan kepada perusahaan-perusahaan anggota dan stakeholders industri lainnya, baik melalui official website dan mailing list ASMINDO Solo Raya

Untuk mendapatkan informasi dan jasa layanan tersebut diatas, silakan menghubungi:

Sekretariat ASMINDO Solo Raya
Jl. Letjen Suprapto 80 B, Sumber, Banjarsari, Surakarta
Telp / Fax : 0271 – 735515
Email : asmindo_ska@yahoo.com
Contact : Otok Suryanto

ASMINDO antara harapan dan kenyataan


ASMINDO

ASMINDO adalah Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia. ASMINDO merupakan wadah bagi pengusaha industri permebelan. ASMINDO bersifat mandiri, bukan organisasi politik, yang dalam kegiatannya tidak mencari keuntungan financial maupun materi.

Di tingkat nasional ASMINDO dibentuk pada tanggal 10 Agustus 1988, berdasarkan Mandat dan Surat Keputusan Musyawaran Nasional Luar Biasa Himpunan Pengusaha Rotan Indonesia (HPRI) serta Mandat dan Surat Keputusan Asosiasi Industri Permebelan dan Hasil Kayu Indonesia (APHKI) yang dikukuhkan di Jakarta pada tanggal 3 April 1989.

ASMINDO Solo Raya

ASMINDO Komda Surakarta dibentuk tanggal 11 Juli 2002 di Hotel Quality Solo lewat Musyawarah Pembentukan Komda Surakarta yang dihadiri 140 pengusaha mebel dan kerajinan se eks karesidenan Surakarta.

Dan dari hasil Musyawarah Daerah II ( MUSDA ) pada tanggal 18 Desember 2007 nama ASMINDO Komda Surakarta dirubah menjadi ASMINDO Komda Solo Raya.

Visi dan Misi

1. Turut serta menciptakan iklim pembangunan ekonomi Indonesia sebagai dimaksud dalam Pola Umum Pembangunan Nasional.
2. Membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan dan kepentingan Pengusaha Indonesia di Bidang Industri Permebelan dan Kerajinan dalam arti seluas-luasnya.
3. Menciptakan dan mengembangkan iklim usaha yang sehat yang memungkinkan keikutsertaan setiap pengusaha dalam arti seluas-luasnya.
4. Melindungi kepentingan para anggota mulai dari pengadaan bahan baku, pengolahan sampai dengan distribusi dan promosi.

Peran dan Fungsi

Komda atau Komisariat Daerah, bertugas dan berfungsi sebagai berikut :


1. Penghubung anggota di daerah dengan pusat, baik yang berhubungan dengan instansi Pemerintah atau Swasta maupun Asosiasi Organisasi serta Himpunan lain.
2. Membina dan memberdayakan potensi daerah dalam menggairahkan ekspor non migas, khususnya mebel dan kerajinan di daerah masing-masing.
3. Secara aktif terlibat langsung membantu mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha dan pengrajin langsung di wilayah kerjanya, seperti: bahan baku, permodalan, pemasaran. Pameran dan lain-lain.
4. Membina hubungan baik dengan instansi terkait baik instansi pemerintah atau swasta, perguruan tinngi maupun LSM serta asosiasi / himpunan / organisasi yang tergabung dalam KADIN.
5. Meningkatkan kemampuan para pengusaha mebel melalui berbagai kegiatan pengembangan teknik produksi dan manajemen berupa seminar, workshop, pelatihan-pelatihan, studi banding dan lain-lain.
6. Bekerjasama dengan Lembaga Internasional, seperti : DEG, DPE, DAPATI, JICA / JETRO, INA dll berupa Techinal assistance di Bidang Produksi, Pameran Internasional dan Informasi Pasar.

Anggota ASMINDO

Anggota biasa
Perusahaan yang bergerak dibidang industri Permebelan & Kerajinan,Bengkel Pengrajin, Perusahaan Industri Barang Setengah Jadi.

Anggota Luar Biasa/Kehormatan
Tokoh-tokoh pribadi / perorangan / pemerintah / organisasi yang ditetapkan dan diangkat oleh Dewan Pengurus ASMINDO.

Menjadi Anggota ASMINDO

1. Pendaftaran dilakukan secara tertulis kepada Dewan Pengurus dengan mengisi formulir isian keanggotaan serta melampirkan : Akte pendirian Perusahaan, SIUP, NPWP & TDP.
2. Setiap anggota yang sudah terdaftar dan diterima akan memperoleh Surat Tanda Anggota.
3. Membayar uang pangkal Keanggotaan dan iuran

Sekilas tentang Anggota ASMINDO Solo Raya

Keanggotaan ASMINDO Solo Raya terdiri dari beberapa macam Eksportir dan pengrajin dengan jumlah Eksportir 222 Anggota dan didukung dengan ± 4.800 tenaga kerja dari wilayah se eks Karesidenan Surakarta.

Secara keanggotaan dapat dibagi kedalam :

* Perusahaan/eksportir mebel Kayu : 184 perusahaan
* Perusahaan/eksportir mebel rotan : 21 perusahaan
* Perusahaan/eksportir mebel dari Besi : 4 perusahaan
* Perusahaan/eksportir produk handicraft : 13 perusahaan


Volume Ekspor per bulan dari wilayah Surakarta

* High Season : ± 400 Cont / Bln
* Low Season : ± 100 Cont / Bln


Jumlah pengrajin yang terkait kemitaan dengan Eksportir

Terdapat 600 kelompok pengrajin yang setiap kelompoknya mempunyai 8 tenaga kerja pengrajin. Total tenaga kerja yang terlibat kegiatan anggota ASMINDO Komda Surakarta ada sekitar 19.800 tenaga kerja.

Kebutuhan Bahan Baku :

* Kayu Jati : ± 2600 m3 / Bln (Sawn Timber)
* Kayu Mahoni : ± 1800 m3 / Bln (Sawn Timber)
* Rotan : ± 800 ton / Bln
* Lain – lain : ± 500 m3 / Bln (Sawn Timber) (Akasia,Mindi,Mangg & Sengon)
ASMINDO

ASMINDO adalah Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia. ASMINDO merupakan wadah bagi pengusaha industri permebelan. ASMINDO bersifat mandiri, bukan organisasi politik, yang dalam kegiatannya tidak mencari keuntungan financial maupun materi.

Di tingkat nasional ASMINDO dibentuk pada tanggal 10 Agustus 1988, berdasarkan Mandat dan Surat Keputusan Musyawaran Nasional Luar Biasa Himpunan Pengusaha Rotan Indonesia (HPRI) serta Mandat dan Surat Keputusan Asosiasi Industri Permebelan dan Hasil Kayu Indonesia (APHKI) yang dikukuhkan di Jakarta pada tanggal 3 April 1989.

ASMINDO Solo Raya

ASMINDO Komda Surakarta dibentuk tanggal 11 Juli 2002 di Hotel Quality Solo lewat Musyawarah Pembentukan Komda Surakarta yang dihadiri 140 pengusaha mebel dan kerajinan se eks karesidenan Surakarta.

Dan dari hasil Musyawarah Daerah II ( MUSDA ) pada tanggal 18 Desember 2007 nama ASMINDO Komda Surakarta dirubah menjadi ASMINDO Komda Solo Raya.

Visi dan Misi

1. Turut serta menciptakan iklim pembangunan ekonomi Indonesia sebagai dimaksud dalam Pola Umum Pembangunan Nasional.
2. Membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan dan kepentingan Pengusaha Indonesia di Bidang Industri Permebelan dan Kerajinan dalam arti seluas-luasnya.
3. Menciptakan dan mengembangkan iklim usaha yang sehat yang memungkinkan keikutsertaan setiap pengusaha dalam arti seluas-luasnya.
4. Melindungi kepentingan para anggota mulai dari pengadaan bahan baku, pengolahan sampai dengan distribusi dan promosi.

Peran dan Fungsi

Komda atau Komisariat Daerah, bertugas dan berfungsi sebagai berikut :


1. Penghubung anggota di daerah dengan pusat, baik yang berhubungan dengan instansi Pemerintah atau Swasta maupun Asosiasi Organisasi serta Himpunan lain.
2. Membina dan memberdayakan potensi daerah dalam menggairahkan ekspor non migas, khususnya mebel dan kerajinan di daerah masing-masing.
3. Secara aktif terlibat langsung membantu mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha dan pengrajin langsung di wilayah kerjanya, seperti: bahan baku, permodalan, pemasaran. Pameran dan lain-lain.
4. Membina hubungan baik dengan instansi terkait baik instansi pemerintah atau swasta, perguruan tinngi maupun LSM serta asosiasi / himpunan / organisasi yang tergabung dalam KADIN.
5. Meningkatkan kemampuan para pengusaha mebel melalui berbagai kegiatan pengembangan teknik produksi dan manajemen berupa seminar, workshop, pelatihan-pelatihan, studi banding dan lain-lain.
6. Bekerjasama dengan Lembaga Internasional, seperti : DEG, DPE, DAPATI, JICA / JETRO, INA dll berupa Techinal assistance di Bidang Produksi, Pameran Internasional dan Informasi Pasar.

Anggota ASMINDO

Anggota biasa
Perusahaan yang bergerak dibidang industri Permebelan & Kerajinan,Bengkel Pengrajin, Perusahaan Industri Barang Setengah Jadi.

Anggota Luar Biasa/Kehormatan
Tokoh-tokoh pribadi / perorangan / pemerintah / organisasi yang ditetapkan dan diangkat oleh Dewan Pengurus ASMINDO.

Menjadi Anggota ASMINDO

1. Pendaftaran dilakukan secara tertulis kepada Dewan Pengurus dengan mengisi formulir isian keanggotaan serta melampirkan : Akte pendirian Perusahaan, SIUP, NPWP & TDP.
2. Setiap anggota yang sudah terdaftar dan diterima akan memperoleh Surat Tanda Anggota.
3. Membayar uang pangkal Keanggotaan dan iuran

Sekilas tentang Anggota ASMINDO Solo Raya

Keanggotaan ASMINDO Solo Raya terdiri dari beberapa macam Eksportir dan pengrajin dengan jumlah Eksportir 222 Anggota dan didukung dengan ± 4.800 tenaga kerja dari wilayah se eks Karesidenan Surakarta.

Secara keanggotaan dapat dibagi kedalam :

* Perusahaan/eksportir mebel Kayu : 184 perusahaan
* Perusahaan/eksportir mebel rotan : 21 perusahaan
* Perusahaan/eksportir mebel dari Besi : 4 perusahaan
* Perusahaan/eksportir produk handicraft : 13 perusahaan


Volume Ekspor per bulan dari wilayah Surakarta

* High Season : ± 400 Cont / Bln
* Low Season : ± 100 Cont / Bln


Jumlah pengrajin yang terkait kemitaan dengan Eksportir

Terdapat 600 kelompok pengrajin yang setiap kelompoknya mempunyai 8 tenaga kerja pengrajin. Total tenaga kerja yang terlibat kegiatan anggota ASMINDO Komda Surakarta ada sekitar 19.800 tenaga kerja.

Kebutuhan Bahan Baku :

* Kayu Jati : ± 2600 m3 / Bln (Sawn Timber)
* Kayu Mahoni : ± 1800 m3 / Bln (Sawn Timber)
* Rotan : ± 800 ton / Bln
* Lain – lain : ± 500 m3 / Bln (Sawn Timber) (Akasia,Mindi,Mangg & Sengon)

Rabu, 18 Agustus 2010

Deforestasi


Dengan luas hutan sekitar 109 juta hektar (2003), Indonesia adalah pemilik hutan hujan tropis terluas ke-3 di dunia, setelah Brasil dan Kongo. Tapi dari luasan hutan yang tersisa itu, hampir setengahnya terdegradasi. Namun tak banyak yang menyadari bahwa kekayaan hutan Indonesia tidaklah sebatas kayu. Keanekaragaman flora fauna ini sangat bermanfaat, diantaranya bagi industri farmasi/kerajinan, pariwisata, dan ilmu pengetahuan. Disamping itu, hutan juga menjaga fungsi tata air, penyerap dan penyimpan karbondioksida, serta sumber air bagi kebutuhan makhluk hidup.

Sejak tahun 1970 penggundulan hutan mulai marak di Indonesia. Pada tahun 1997-2000, laju kehilangan dan kerusakan hutan Indonesia mencapai 2,8 juta hektar/tahun. Saat ini diperkirakan luas hutan alam yang tersisa hanya 28%. Jika tidak segera dihentikan, maka hutan yang tersisa akan segera musnah.

Mengetahui Lebih Banyak Tentang Bahan Baku

Habitus

Pohon besar dengan batang yang bulat lurus, tinggi total mencapai 40 m. Batang bebas cabang (clear bole) dapat mencapai 18-20 m. Pada hutan-hutan alam yang tidak terkelola ada pula individu jati yang berbatang bengkok-bengkok. Sementara varian jati blimbing memiliki batang yang berlekuk atau beralur dalam; dan jati pring (Jw., bambu) nampak seolah berbuku-buku seperti bambu. Kulit batang coklat kuning keabu-abuan, terpecah-pecah dangkal dalam alur memanjang batang.

Pohon jati (Tectona grandis sp.) dapat tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter. Namun, pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0,9-1,5 meter.

Pohon jati yang dianggap baik adalah pohon yang bergaris lingkar besar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya berasal dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun.

Daun umumnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon berukuran besar, sekitar 60-70 cm × 80-100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi sekitar 15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya.

Bunga majemuk terletak dalam malai besar, 40 cm × 40 cm atau lebih besar, berisi ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak payung menggarpu dan terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk pohon. Taju mahkota 6-7 buah, keputih-putihan, 8 mm. Berumah satu.

Buah berbentuk bulat agak gepeng, 0,5 – 2,5 cm, berambut kasar dengan inti tebal, berbiji 2-4, tetapi umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung menyerupai balon kecil.

Sifat ekologis dan penyebaran
Tectona grandis

Jati menyebar luas mulai dari India, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand, Indochina, sampai ke Jawa. Jati tumbuh di hutan-hutan gugur, yang menggugurkan daun di musim kemarau.

Menurut sejumlah ahli botani, jati merupakan spesies asli di Burma, yang kemudian menyebar ke Semenanjung India, Muangthai, Filipina, dan Jawa. Sebagian ahli botani lain menganggap jati adalah spesies asli di Burma, India, Muangthai, dan Laos.

Sekitar 70% kebutuhan jati dunia pada saat ini dipasok oleh Burma. Sisa kebutuhan itu dipasok oleh India, Thailand, Jawa, Srilangka, dan Vietnam. Namun, pasokan dunia dari hutan jati alami satu-satunya berasal dari Burma. Lainnya berasal dari hasil hutan tanaman jati.

Jati paling banyak tersebar di Asia. Selain di keempat negara asal jati dan Indonesia, jati dikembangkan sebagai hutan tanaman di Srilangka (sejak 1680), Tiongkok (awal abad ke-19), Bangladesh (1871), Vietnam (awal abad ke-20), dan Malaysia (1909).

Iklim yang cocok adalah yang memiliki musim kering yang nyata, namun tidak terlalu panjang, dengan curah hujan antara 1200-3000 mm pertahun dan dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun. Ketinggian tempat yang optimal adalah antara 0 – 700 m dpl; meski jati bisa tumbuh hingga 1300 m dpl.

Tegakan jati sering terlihat seperti hutan sejenis, yaitu hutan yang seakan-akan hanya terdiri dari satu jenis pohon.

Ini dapat terjadi di daerah beriklim muson yang begitu kering, kebakaran lahan mudah terjadi dan sebagian besar jenis pohon akan mati pada saat itu. Tidak demikian dengan jati. Pohon jati termasuk spesies pionir yang tahan kebakaran karena kulit kayunya tebal. Lagipula, buah jati mempunyai kulit tebal dan tempurung yang keras. Sampai batas-batas tertentu, jika terbakar, lembaga biji jati tidak rusak. Kerusakan tempurung biji jati justru memudahkan tunas jati untuk keluar pada saat musim hujan tiba.

Guguran daun lebar dan rerantingan jati yang menutupi tanah melapuk secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Guguran itu juga mendapat bahan bakar yang dapat memicu kebakaran —yang dapat dilalui oleh jati tetapi tidak oleh banyak jenis pohon lain. Demikianlah, kebakaran hutan yang tidak terlalu besar justru mengakibatkan proses pemurnian tegakan jati: biji jati terdorong untuk berkecambah, pada saat jenis-jenis pohon lain mati.

Tanah yang sesuai adalah yang agak basa, dengan pH antara 6-8, sarang (memiliki aerasi yang baik), mengandung cukup banyak kapur (Ca, calcium) dan fosfor (P). Jati tidak tahan tergenang air.

Pada masa lalu, jati sempat dianggap sebagai jenis asing yang dimasukkan (diintroduksi) ke Jawa; ditanam oleh orang-orang Hindu ribuan tahun yang lalu. Namun pengujian variasi isozyme yang dilakukan oleh Kertadikara (1994) menunjukkan bahwa jati di Jawa telah berevolusi sejak puluhan hingga ratusan ribu tahun yang silam (Mahfudz dkk., t.t. ).

Karena nilai kayunya, jati kini juga dikembangkan di luar daerah penyebaran alaminya. Di Afrika tropis, Amerika tengah, Australia, New Zealand, Pasifik dan Taiwan.

Sebaran hutan jati di Indonesia

Di Indonesia sendiri, selain di Jawa dan Muna, jati juga dikembangkan di Bali dan Nusa Tenggara.

Dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya untuk mengembangkan jati di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Hasilnya kurang menggembirakan. Jati mati setelah berusia dua atau tiga tahun. Masalahnya, tanah di kedua tempat ini sangat asam. Jati sendiri adalah jenis yang membutuhkan zat kalsium dalam jumlah besar, juga zat fosfor. Selain itu, jati membutuhkan cahaya matahari yang berlimpah.

Sekarang, di luar Jawa, kita dapat menemukan hutan jati secara terbatas di beberapa tempat di Pulau Sulawesi, Pulau Muna, daerah Bima di Pulau Sumbawa, dan Pulau Buru. Jati berkembang juga di daerah Lampung di Pulau Sumatera.

Pada 1817, Raffles mencatat jika hutan jati tidak ditemukan di Semenanjung Malaya atau Sumatera atau pulau-pulau berdekatan. Jati hanya tumbuh subur di Jawa dan sejumlah pulau kecil di sebelah timurnya, yaitu Madura, Bali, dan Sumbawa. Perbukitan di bagian timur laut Bima di Sumbawa penuh tertutup oleh jati pada saat itu.

Heyne, pada 1671, mencatat keberadaan jati di Sulawesi, walau hanya di beberapa titik di bagian timur. Ada sekitar 7.000 ha di Pulau Muna dan 1.000 ha di pedalaman Pulau Butung di Teluk Sampolawa. Heyne menduga jati sesungguhnya terdapat pula di Pulau Kabaena, serta di Rumbia dan Poleang, di Sulawesi Tenggara. Analisis DNA mutakhir memperlihatkan bahwa jati di Sulawesi Tenggara merupakan cabang perkembangan jati jawa.

Jati yang tumbuh di Sulawesi Selatan baru ditanam pada masa 1960an dan 1970an. Ketika itu, banyak lahan di Billa, Soppeng, Bone, Sidrap, dan Enrekang sedang dihutankan kembali. Di Billa, pertumbuhan pohon jatinya saat ini tidak kalah dengan yang ada di Pulau Jawa. Garis tengah batangnya dapat melebihi 30 cm.

Penyebaran jati ke Jawa

Walaupun menyebar luas di Pulau Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil, mayoritas ahli sepakat bahwa jati bukan tumbuhan asli di Indonesia. Ada beberapa dugaan tentang asal mula budidaya jati di Indonesia. Raffles menunjukkan bahwa, pada abad ke-15 dan ke-16, hutan jati yang terdekat dengan Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil berada di Siam dan Pegu. Kedua negeri itu tercatat pernah mengekspor barang ke Jawa melalui kapal-kapal besar. Ia lantas menduga bahwa orang laut dulu mengimpor jati, entah dari Pegu, entah dari Malabar.

Oleh karena jarak antarpohon cenderung beraturan, Altma (1922) memperkirakan bahwa hutan jati di Jawa mungkin merupakan hasil penanaman di akhir era Hindu (abad ke-14 hingga ke-16). Ia menduga jika penguasa Jawa masa itu telah menganggap jati sebagai suatu pohon suci. Mereka lantas mengimpor jenis pohon itu dari Kelinga di pantai timur India Selatan sejak abad kedua. Jati memang banyak ditemukan di sekitar candi-candi untuk menghormati Dewa Syiwa. Namun, Simatupang (2000) melihat jika jati telah menyebar jauh lebih luas. Ia menduga penyebaran yang lebih luas ini berkat keterlibatan para petani sekitar candi. Para petani itu sudah melihat kegunaan jati dan budidayanya yang mudah.

Simatupang menduga bahwa, di tempat-tempat tertentu di Jawa yang tidak cocok untuk persawahan, perladangan berpindah dipraktikkan. Perladangan berpindah adalah cara bertani yang biasa dilakukan semasa itu di banyak daerah lain di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Sebelum berpindah ladang, petani-petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur mungkin telah menanam pohon jati. Oleh karena sesuai dengan iklim kering setempat yang kerap menimbulkan kebakaran, jati kemudian menjadi spesies dominan.

Daerah sebaran hutan jati di Jawa

Sedini 1927, hutan jati tercatat menyebar di pantai utara Jawa, mulai dari Kerawang hingga ke ujung timur pulau ini. Namun, hutan jati paling banyak menyebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu sampai ketinggian 650 meter di atas permukaan laut. Hanya di daerah Besuki jati tumbuh tidak lebih daripada 200 meter di atas permukaan laut.

Di kedua provinsi ini, hutan jati sering terbentuk secara alami akibat iklim muson yang menimbulkan kebakaran hutan secara berkala. Hutan jati yang cukup luas di Jawa terpusat di daerah alas roban Rembang, Blora, Groboragan, dan Pati. Bahkan, jati jawa dengan mutu terbaik dihasilkan di daerah tanah perkapuran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Saat ini, sebagian besar lahan hutan jati di Jawa dikelola oleh Perhutani, sebuah perusahaan umum milik negara di bidang kehutanan. Pada 2003, luas lahan hutan Perhutani mencapai hampir seperempat luas Pulau Jawa. Luas lahan hutan jati Perhutani di Jawa mencapai sekitar 1,5 juta hektar. Ini nyaris setara dengan setengah luas lahan hutan Perhutani atau sekitar 11% luas Pulau Jawa.

Sifat-sifat kayu dan pengerjaan

Kayu jati merupakan kayu kelas satu karena kekuatan, keawetan dan keindahannya. Secara teknis, kayu jati memiliki kelas kekuatan I dan kelas keawetan I. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap.

Kayu teras jati berwarna coklat muda, coklat kelabu hingga coklat merah tua. Kayu gubal, di bagian luar, berwarna putih dan kelabu kekuningan.

Meskipun keras dan kuat, kayu jati mudah dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk membuat furniture dan ukir-ukiran. Kayu yang diampelas halus memiliki permukaan yang licin dan seperti berminyak. Pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras nampak jelas, sehingga menghasilkan gambaran yang indah.

Dengan kehalusan tekstur dan keindahan warna kayunya, jati digolongkan sebagai kayu mewah. Oleh karena itu, jati banyak diolah menjadi mebel taman, mebel interior, kerajinan, panel, dan anak tangga yang berkelas.

Sekalipun relatif mudah diolah, jati terkenal sangat kuat dan awet, serta tidak mudah berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Atas alasan itulah, kayu jati digunakan juga sebagai bahan dok pelabuhan, bantalan rel, jembatan, kapal niaga, dan kapal perang. Tukang kayu di Eropa pada abad ke-19 konon meminta upah tambahan jika harus mengolah jati. Ini karena kayu jati sedemikian keras hingga mampu menumpulkan perkakas dan menyita tenaga mereka. Manual kelautan Inggris bahkan menyarankan untuk menghindari kapal jung Tiongkok yang terbuat dari jati karena dapat merusak baja kapal marinir Inggris jika berbenturan.

Pada abad ke-17, tercatat jika masyarakat Sulawesi Selatan menggunakan akar jati sebagai penghasil pewarna kuning dan kuning coklat alami untuk barang anyaman mereka. Di Jawa Timur, masyarakat Pulau Bawean menyeduh daun jati untuk menghasilkan bahan pewarna coklat merah alami. Orang Lamongan memilih menyeduh tumbukan daun mudanya. Sementara itu, orang Pulau Madura mencampurkan tumbukan daun jati dengan asam jawa. Pada masa itu, pengidap penyakit kolera pun dianjurkan untuk meminum seduhan kayu dan daun jati yang pahit sebagai penawar sakit.

Jati burma sedikit lebih kuat dibandingkan jati jawa. Namun, di Indonesia sendiri, jati jawa menjadi primadona. Tekstur jati jawa lebih halus dan kayunya lebih kuat dibandingkan jati dari daerah lain di negeri ini. Produk-produk ekspor yang disebut berbahan java teak (jati jawa, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur) sangat terkenal dan diburu oleh para kolektor di luar negeri.

Menurut sifat-sifat kayunya, di Jawa orang mengenal beberapa jenis jati (Mahfudz dkk., t.t.):

1. Jati lengo atau jati malam, memiliki kayu yang keras, berat, terasa halus bila diraba dan seperti mengandung minyak (Jw.: lengo, minyak; malam, lilin). Berwarna gelap, banyak berbercak dan bergaris.
2. Jati sungu. Hitam, padat dan berat (Jw.: sungu, tanduk).
3. Jati werut, dengan kayu yang keras dan serat berombak.
4. Jati doreng, berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng hitam menyala, sangat indah.
5. Jati kembang.
6. Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena mengandung banyak kapur. Kurang kuat dan kurang awet.


Kegunaan kayu jati
Permukaan mebel jati.

Kayu jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel-sel kayunya, sehingga dapat awet digunakan di tempat terbuka meski tanpa divernis; apalagi bila dipakai di bawah naungan atap.

Jati sejak lama digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal laut, termasuk kapal-kapal VOC yang melayari samudera di abad ke-17. Juga dalam konstruksi berat seperti jembatan dan bantalan rel.

Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sebagai bahan baku furniture, kayu jati digunakan pula dalam struktur bangunan. Rumah-rumah tradisional Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah, menggunakan kayu jati di hampir semua bagiannya: tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir.

Dalam industri kayu sekarang, jati diolah menjadi venir (veneer) untuk melapisi wajah kayu lapis mahal; serta dijadikan keping-keping parket (parquet) penutup lantai. Selain itu juga diekspor ke mancanegara dalam bentuk furniture luar-rumah.

Ranting-ranting jati yang tak lagi dapat dimanfaatkan untuk mebel, dimanfaatkan sebagai kayu bakar kelas satu. Kayu jati menghasilkan panas yang tinggi, sehingga dulu digunakan sebagai bahan bakar lokomotif uap.

Sebagian besar kebutuhan kayu jati dunia dipasok oleh Indonesia dan Myanmar.

Fungsi ekonomis hutan jati jawa: hasil hutan kayu

Sebagai jenis hutan paling luas di Pulau Jawa, hutan jati memiliki nilai ekonomis, ekologis, dan sosial yang penting.

Kayu jati jawa telah dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Jati terutama dipakai untuk membangun rumah dan alat pertanian. Sampai dengan masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya mengenal kayu jati sebagai bahan bangunan. Kayu-kayu bukan jati disebut ‘kayu tahun’. Artinya, kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja.

Selain itu, jati digunakan dalam membangun kapal-kapal niaga dan kapal-kapal perang. Beberapa daerah yang berdekatan dengan hutan jati di pantai utara Jawa pun pernah menjadi pusat galangan kapal, seperti Tegal, Juwana, Tuban, dan Pasuruan. Namun, galang kapal terbesar dan paling kenal berada di Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh petualang Tomé Pires pada awal abad ke-16.

VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Kompeni Hindia Timur Belanda) bahkan sedemikian tertarik pada “emas hijau” ini hingga berkeras mendirikan loji pertama mereka di Pulau Jawa —tepatnya di Jepara— pada 1651. VOC juga memperjuangkan izin berdagang jati melalui Semarang, Jepara, dan Surabaya. Ini karena mereka menganggap perdagangan jati akan jauh lebih menguntungkan daripada perdagangan rempah-rempah dunia yang saat itu sedang mencapai puncak keemasannya.

Di pertengahan abad ke-18, VOC telah mampu menebang jati secara lebih modern. Dan, sebagai imbalan bantuan militer mereka kepada Kerajaan Mataram di awal abad ke-19, VOC juga diberikan izin untuk menebang lahan hutan jati yang luas.

VOC lantas mewajibkan para pemuka bumiputera untuk menyerahkan kayu jati kepada VOC dalam jumlah tertentu yang besar. Melalui sistem blandong, para pemuka bumiputera ini membebankan penebangan kepada rakyat di sekitar hutan. Sebagai imbalannya, rakyat dibebaskan dari kewajiban pajak lain. Jadi, sistem blandong tersebut merupakan sebentuk kerja paksa.

VOC kemudian memboyong pulang gelondongan jati jawa ke Amsterdam dan Rotterdam. Kedua kota pelabuhan terakhir ini pun berkembang menjadi pusat-pusat industri kapal kelas dunia.

Di pantai utara Jawa sendiri, galangan-galangan kapal Jepara dan Rembang tetap sibuk hingga pertengahan abad ke-19. Mereka gulung tikar hanya setelah banyak pengusaha perkapalan keturunan Arab lebih memilih tinggal di Surabaya. Lagipula, saat itu kapal lebih banyak dibuat dari logam dan tidak banyak bergantung pada bahan kayu.

Namun, pascakemerdekaan negeri ini, jati jawa masih sangat menguntungkan. Produksi jati selama periode emas 1984-1988 mencapai 800.000 m3/tahun. Ekspor kayu gelondongan jati pada 1989 mencapai 46.000 m3, dengan harga jual dasar 640 USD/m3.

Pada 1990, ekspor gelondongan jati dilarang oleh pemerintah karena kebutuhan industri kehutanan di dalam negeri yang melonjak. Sekalipun demikian, Perhutani mencatat bahwa sekitar 80% pendapatan mereka dari penjualan semua jenis kayu pada 1999 berasal dari penjualan gelondongan jati di dalam negeri. Pada masa yang sama, sekitar 89% pendapatan Perhutani dari ekspor produk kayu berasal dari produk-produk jati, terutama yang berbentuk garden furniture (mebel taman).

Manfaat yang lain

Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sebagai pembungkus, termasuk pembungkus makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati terasa lebih nikmat. Contohnya adalah nasi jamblang yang terkenal dari daerah Jamblang, Cirebon.

Daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pembungkus tempe.

Berbagai jenis serangga hama jati juga sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan orang desa. Dua di antaranya adalah belalang jati (Jw. walang kayu), yang besar berwarna kecoklatan, dan ulat-jati (Endoclita). Ulat jati bahkan kerap dianggap makanan istimewa karena lezatnya. Ulat ini dikumpulkan menjelang musim hujan, di pagi hari ketika ulat-ulat itu bergelantungan turun dari pohon untuk mencari tempat untuk membentuk kepompong (Jw. ungkrung). Kepompong ulat jati pun turut dikumpulkan dan dimakan.

Fungsi ekonomis lain dari hutan jati jawa

Jika berkunjung ke hutan-hutan jati di Jawa, kita akan melihat bahwa kawasan-kawasan itu memiliki fungsi ekonomis lain di samping menghasilkan kayu jati.

Banyak pesanggem (petani) yang hidup di desa hutan jati memanfaatkan kulit pohon jati sebagai bahan dinding rumah mereka. Daun jati, yang lebar berbulu dan gugur di musim kemarau itu, mereka pakai sebagai pembungkus makanan dan barang. Cabang dan ranting jati menjadi bahan bakar bagi banyak rumah tangga di desa hutan jati.

Hutan jati terutama menyediakan lahan garapan. Di sela-sela pepohonan jati, para petani menanam palawija berbanjar-banjar. Dari hutan jati sendiri, mereka dapat memperoleh penghasilan tambahan berupa madu, sejumlah sumber makanan berkarbohidrat, dan obat-obatan.

Makanan pengganti nasi yang tumbuh di hutan jati misalnya adalah gadung (Dioscorea hispida) dan uwi (Dioscorea alata). Bahkan, masyarakat desa hutan jati juga memanfaatkan iles-iles (Ammorphophallus) pada saat paceklik. Tumbuhan obat-obatan tradisional seperti kencur (Alpina longa), kunyit (Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale), dan temu lawak (Curcuma longa) tumbuh di kawasan hutan ini.

Pohon jati juga menghasilkan bergugus-gugus bunga keputihan yang merekah tak lama setelah fajar. Masa penyerbukan bunga jati yang terbaik terjadi di sekitar tengah hati —setiap bunga hidup hanya sepanjang satu hari. Penyerbukan bunga dilakukan oleh banyak serangga, tetapi terutama oleh jenis-jenis lebah. Oleh karena itu, penduduk juga sering dapat memanen madu lebah dari hutan-hutan jati.

Masyarakat desa hutan jati di Jawa juga biasa memelihara ternak seperti kerbau, sapi, dan kambing. Jenis ternak tersebut memerlukan rumput-rumputan sebagai pakan. Walaupun para petani kadang akan mudah mendapatkan rerumputan di sawah atau tegal, mereka lebih banyak memanfaatkan lahan hutan sebagai sumber penghasil makanan ternak. Dengan melepaskan begitu saja ternak ke dalam hutan, ternak akan mendapatkan beragam jenis pakan yang diperlukan. Waktu yang tidak dipergunakan oleh keluarga petani untuk mengumpulkan rerumputan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya.

Fungsi non-ekonomis hutan jati jawa

Pada 2003, sekitar 76% lahan hutan jati Perhutani di Jawa dikukuhkan sebagai hutan produksi, yaitu kawasan hutan dengan fungsi pokok memproduksi hasil hutan (terutama kayu). Hanya kurang dari 24% hutan jati Perhutani dikukuhkan sebagai hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, dan cagar alam.

Mengingat lahannya yang relatif cukup luas, hutan jati dipandang memiliki fungsi-fungsi non-ekonomis yang penting. Fungsi-fungsi non-ekonomis tersebut adalah sebagai berikut:

Fungsi penyangga ekosistem


Tajuk pepohonan dalam hutan jati akan menyerap dan menguraikan zat-zat pencemar (polutan) dan cahaya yang berlebihan. Tajuk hutan itu pun melakukan proses fotosintesis yang menyerap karbondioksida dari udara dan melepaskan kembali oksigen dan uap air ke udara. Semua ini membantu menjaga kestabilan iklim di dalam dan sekitar hutan. Hutan jati pun ikut mendukung kesuburan tanah. Ini karena akar pepohonan dalam hutan jati tumbuh melebar dan mendalam. Pertumbuhan akar ini akan membantu menggemburkan tanah, sehingga memudahkan air dan udara masuk ke dalamnya. Tajuk (mahkota hijau) pepohonan dan tumbuhan bawah dalam hutan jati akan menghasilkan serasah, yaitu jatuhan ranting, buah, dan bunga dari tumbuhan yang menutupi permukaan tanah hutan. Serasah menjadi bahan dasar untuk menghasilkan humus tanah. Berbagai mikroorganisme hidup berlindung dan berkembang dalam serasah ini. Uniknya, mikroorganisme itu juga yang akan memakan dan mengurai serasah menjadi humus tanah. Serasah pun membantu meredam entakan air hujan sehingga melindungi tanah dari erosi oleh air.

Fungsi biologis

Jika hutan jati berbentuk hutan murni —sehingga lebih seperti ‘kebun’ jati— erosi tanah justru akan lebih besar terjadi. Tajuk jati rakus cahaya matahari sehingga cabang-cabangnya tidak semestinya bersentuhan. Perakaran jati juga tidak tahan bersaing dengan perakaran tanaman lain. Dengan demikian, serasah tanah cenderung tidak banyak. Tanpa banyak tutupan tumbuhan pada lantai hutan, lapisan tanah teratas lebih mudah terbawa oleh aliran air dan tiupan angin.

Untunglah, hutan jati berkembang dengan sejumlah tanaman yang lebih beragam. Di dalam hutan jati, kita dapat menemukan bungur (Lagerstroemia speciosa), dlingsem (Homalium tomentosum), dluwak (Grewia paniculata), katamaka (Kleinhovia hospita), kemloko (Phyllanthus emblica), kepuh (Sterculia foetida), kesambi (Schleichera oleosa), laban (Vitex pubscens), ploso (Butea monosperma), serut (Streblus asper), trengguli (Cassia fistula), winong (Tetrameles nudflora), dan lain-lain. Lamtoro (Leucenia leucocephalla) dan akasia (Acacia villosa) pun ditanam sebagai tanaman sela untuk menahan erosi tanah dan menambah kesuburan tanah.

Daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang gersang dan rusak parah sebelum 1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola penanaman campuran jati dan jenis-jenis lain ini. Dalam selang waktu hampir 30 tahun, lebih dari 60% lahan rusak dapat diubah menjadi lahan yang menghasilkan. Penduduk setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka karena melihat nilai manfaatnya, cara tanamnya yang mudah, dan harga jual kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun dan pekarangan mereka dengan mahoni (Swietenia mahogany), akasia (Acacia villosa), dan sonokeling (Dalbergia latifolia).

Daerah Gunung Kidul kini berubah menjadi lahan hijau yang berhawa lebih sejuk dan memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi. Perubahan lingkungan itu telah mengundang banyak satwa untuk singgah, terutama burung —satwa yang kerap dijadikan penanda kesehatan suatu lingkungan. Selain itu, kekayaan lahan ini sekaligus menjadi cadangan sumberdaya untuk masa depan.

Fungsi sosial

Banyak lahan hutan jati di Jawa, baik yang dikukuhkan sebagai hutan produksi maupun hutan non-produksi, memberikan layanan sebagai pusat penelitian dan pendidikan, pusat pemantauan alam, tempat berekreasi dan pariwisata, serta sumber pengembangan budaya.

Yang mungkin paling menarik untuk dikunjungi adalah Monumen Gubug Payung di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Tempat ini merupakan museum hidup dari pepohonan jati yang berusia lebih dari seabad, setinggi rata-rata di atas 39 meter dan berdiameter rata-rata 89 sentimeter.

Kita dapat menikmati pemandangan hutan dari ketinggian dengan menumpang loko “Bahagia”. Di sini, kita juga dapat meninjau Arboretum Jati; hutan buatan dengan koleksi 32 jenis pohon jati yang tumbuh di seluruh Indonesia. Ada juga Puslitbang Cepu yang mengembangkan bibit jati unggul yang dikenal sebagai JPP (Jati Plus Perhutani). Pengunjung boleh membeli sapihan jati dan menanamnya sendiri di sini. Pengelola kemudian akan merawat dan menamai pohon itu sesuai dengan nama pengunjung bersangkutan.

Jenis yang berkerabat


Seluruhnya, ada tiga anggota genus Tectona. Selain jati Tectona grandis yang diuraikan di atas, dua yang lain adalah:

* Jati Dahat (Dahat Teak, Tectona hamiltoniana), sejenis jati endemik di Myanmar, yang kini sudah langka dan terancam kepunahan.
* Jati Filipina (Philippine Teak, Tectona philippinensis), jati endemik dari Filipina; juga terancam kepunahan.

Pada pihak lain, ada pula jenis-jenis pohon atau tumbuhan lain yang dinamai jati meski tidak berkerabat. Di antaranya:

* Jati sabrang atau sungkai (Peronema canescens)
* Jati putih (Gmelina arborea)
* Jati pasir (Guettarda speciosa)

TEAK


Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun besar, yang luruh di musim kemarau.

Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini berasal dari kata thekku (തേക്ക്) dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bagian Kerala di India selatan. Nama ilmiah jati adalah Tectona grandis L.f.

Jati dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 1 500 – 2 000 mm/tahun dan suhu 27 – 36 °C baik di dataran rendah maupun dataran tinggi.[1] Tempat yang paling baik untuk pertumbuhan jati adalah tanah dengan pH 4.5 – 7 dan tidak dibanjiri dengan air.[2] Jati memiliki daun berbentuk elips yang lebar dan dapat mencapai 30 – 60 cm saat dewasa.[1]

Jati memiliki pertumbuhan yang lambat dengan germinasi rendah (biasanya kurang dari 50%) yang membuat proses propagasi secara alami menjadi sulit sehingga tidak cukup untuk menutupi permintaan atas kayu jati.[3] Jati biasanya diproduksi secara konvensional dengan menggunakan biji. Akan tetapi produksi bibit dengan jumlah besar dalam waktu tertentu menjadi terbatas karena adanya lapisan luar biji yang keras.[3] Beberapa alternatif telah dilakukan untuk mengatasi lapisan ini seperti merendam biji dalam air, memanaskan biji dengan api kecil atau pasir panas, serta menambahkan asam, basa, atau bakteri.[4] Akan tetapi alternatif tersebut masih belum optimal untuk menghasilkan jati dalam waktu yang cepat dan jumlah yang banyak.[4]

Umumnya, Jati yang sedang dalam proses pembibitan rentan terhadap beberapa penyakit antara lain leaf spot disease yang disebabkan oleh Phomopsis sp., Colletotrichum gloeosporioides, Alternaria sp., dan Curvularia sp., leaf rust yang disebabkan oleh Olivea tectonea, dan powdery mildew yang disebabkan oleh Uncinula tectonae.[5] Phomopsis sp. merupakan penginfeksi paling banyak, tercatat 95% bibit terkena infeksi pada tahun 1993-1994.[5] Infeksi tersebut terjadi pada bibit yang berumur 2 – 8 bulan.[5] Karakterisasi dari infeksi ini adalah adanya necrosis berwarna coklat muda pada pinggir daun yang kemudian secara bertahap menyebar ke pelepah, infeksi kemudian menyebar ke bagian atas daun, petiol, dan ujung batang yang mengakibatkan bagian daun dari batang tersebut mengalami kekeringan.[5] Jika tidak disadari dan tidak dikontrol, infeksi dari Phomopsis sp. akan menyebar sampai ke seluruh bibit sehingga proses penanaman jati tidak bisa dilakukan. [5]

Habitus

Pohon besar dengan batang yang bulat lurus, tinggi total mencapai 40 m. Batang bebas cabang (clear bole) dapat mencapai 18-20 m. Pada hutan-hutan alam yang tidak terkelola ada pula individu jati yang berbatang bengkok-bengkok. Sementara varian jati blimbing memiliki batang yang berlekuk atau beralur dalam; dan jati pring (Jw., bambu) nampak seolah berbuku-buku seperti bambu. Kulit batang coklat kuning keabu-abuan, terpecah-pecah dangkal dalam alur memanjang batang.

Pohon jati (Tectona grandis sp.) dapat tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter. Namun, pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0,9-1,5 meter.

Pohon jati yang dianggap baik adalah pohon yang bergaris lingkar besar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya berasal dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun.

Daun umumnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon berukuran besar, sekitar 60-70 cm × 80-100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi sekitar 15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya.

Bunga majemuk terletak dalam malai besar, 40 cm × 40 cm atau lebih besar, berisi ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak payung menggarpu dan terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk pohon. Taju mahkota 6-7 buah, keputih-putihan, 8 mm. Berumah satu.

Buah berbentuk bulat agak gepeng, 0,5 – 2,5 cm, berambut kasar dengan inti tebal, berbiji 2-4, tetapi umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung menyerupai balon kecil.
[sunting] Sifat ekologis dan penyebaran
Tectona grandis

Jati menyebar luas mulai dari India, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand, Indochina, sampai ke Jawa. Jati tumbuh di hutan-hutan gugur, yang menggugurkan daun di musim kemarau.

Menurut sejumlah ahli botani, jati merupakan spesies asli di Burma, yang kemudian menyebar ke Semenanjung India, Muangthai, Filipina, dan Jawa. Sebagian ahli botani lain menganggap jati adalah spesies asli di Burma, India, Muangthai, dan Laos.

Sekitar 70% kebutuhan jati dunia pada saat ini dipasok oleh Burma. Sisa kebutuhan itu dipasok oleh India, Thailand, Jawa, Srilangka, dan Vietnam. Namun, pasokan dunia dari hutan jati alami satu-satunya berasal dari Burma. Lainnya berasal dari hasil hutan tanaman jati.

Jati paling banyak tersebar di Asia. Selain di keempat negara asal jati dan Indonesia, jati dikembangkan sebagai hutan tanaman di Srilangka (sejak 1680), Tiongkok (awal abad ke-19), Bangladesh (1871), Vietnam (awal abad ke-20), dan Malaysia (1909).

Iklim yang cocok adalah yang memiliki musim kering yang nyata, namun tidak terlalu panjang, dengan curah hujan antara 1200-3000 mm pertahun dan dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun. Ketinggian tempat yang optimal adalah antara 0 – 700 m dpl; meski jati bisa tumbuh hingga 1300 m dpl.

Tegakan jati sering terlihat seperti hutan sejenis, yaitu hutan yang seakan-akan hanya terdiri dari satu jenis pohon.

Ini dapat terjadi di daerah beriklim muson yang begitu kering, kebakaran lahan mudah terjadi dan sebagian besar jenis pohon akan mati pada saat itu. Tidak demikian dengan jati. Pohon jati termasuk spesies pionir yang tahan kebakaran karena kulit kayunya tebal. Lagipula, buah jati mempunyai kulit tebal dan tempurung yang keras. Sampai batas-batas tertentu, jika terbakar, lembaga biji jati tidak rusak. Kerusakan tempurung biji jati justru memudahkan tunas jati untuk keluar pada saat musim hujan tiba.

Guguran daun lebar dan rerantingan jati yang menutupi tanah melapuk secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Guguran itu juga mendapat bahan bakar yang dapat memicu kebakaran —yang dapat dilalui oleh jati tetapi tidak oleh banyak jenis pohon lain. Demikianlah, kebakaran hutan yang tidak terlalu besar justru mengakibatkan proses pemurnian tegakan jati: biji jati terdorong untuk berkecambah, pada saat jenis-jenis pohon lain mati.

Tanah yang sesuai adalah yang agak basa, dengan pH antara 6-8, sarang (memiliki aerasi yang baik), mengandung cukup banyak kapur (Ca, calcium) dan fosfor (P). Jati tidak tahan tergenang air.

Pada masa lalu, jati sempat dianggap sebagai jenis asing yang dimasukkan (diintroduksi) ke Jawa; ditanam oleh orang-orang Hindu ribuan tahun yang lalu. Namun pengujian variasi isozyme yang dilakukan oleh Kertadikara (1994) menunjukkan bahwa jati di Jawa telah berevolusi sejak puluhan hingga ratusan ribu tahun yang silam (Mahfudz dkk., t.t. ).

Karena nilai kayunya, jati kini juga dikembangkan di luar daerah penyebaran alaminya. Di Afrika tropis, Amerika tengah, Australia, New Zealand, Pasifik dan Taiwan.
[sunting] Sebaran hutan jati di Indonesia

Di Indonesia sendiri, selain di Jawa dan Muna, jati juga dikembangkan di Bali dan Nusa Tenggara.

Dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya untuk mengembangkan jati di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Hasilnya kurang menggembirakan. Jati mati setelah berusia dua atau tiga tahun. Masalahnya, tanah di kedua tempat ini sangat asam. Jati sendiri adalah jenis yang membutuhkan zat kalsium dalam jumlah besar, juga zat fosfor. Selain itu, jati membutuhkan cahaya matahari yang berlimpah.

Sekarang, di luar Jawa, kita dapat menemukan hutan jati secara terbatas di beberapa tempat di Pulau Sulawesi, Pulau Muna, daerah Bima di Pulau Sumbawa, dan Pulau Buru. Jati berkembang juga di daerah Lampung di Pulau Sumatera.

Pada 1817, Raffles mencatat jika hutan jati tidak ditemukan di Semenanjung Malaya atau Sumatera atau pulau-pulau berdekatan. Jati hanya tumbuh subur di Jawa dan sejumlah pulau kecil di sebelah timurnya, yaitu Madura, Bali, dan Sumbawa. Perbukitan di bagian timur laut Bima di Sumbawa penuh tertutup oleh jati pada saat itu.

Heyne, pada 1671, mencatat keberadaan jati di Sulawesi, walau hanya di beberapa titik di bagian timur. Ada sekitar 7.000 ha di Pulau Muna dan 1.000 ha di pedalaman Pulau Butung di Teluk Sampolawa. Heyne menduga jati sesungguhnya terdapat pula di Pulau Kabaena, serta di Rumbia dan Poleang, di Sulawesi Tenggara. Analisis DNA mutakhir memperlihatkan bahwa jati di Sulawesi Tenggara merupakan cabang perkembangan jati jawa.

Jati yang tumbuh di Sulawesi Selatan baru ditanam pada masa 1960an dan 1970an. Ketika itu, banyak lahan di Billa, Soppeng, Bone, Sidrap, dan Enrekang sedang dihutankan kembali. Di Billa, pertumbuhan pohon jatinya saat ini tidak kalah dengan yang ada di Pulau Jawa. Garis tengah batangnya dapat melebihi 30 cm.
[sunting] Penyebaran jati ke Jawa

Walaupun menyebar luas di Pulau Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil, mayoritas ahli sepakat bahwa jati bukan tumbuhan asli di Indonesia. Ada beberapa dugaan tentang asal mula budidaya jati di Indonesia. Raffles menunjukkan bahwa, pada abad ke-15 dan ke-16, hutan jati yang terdekat dengan Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil berada di Siam dan Pegu. Kedua negeri itu tercatat pernah mengekspor barang ke Jawa melalui kapal-kapal besar. Ia lantas menduga bahwa orang laut dulu mengimpor jati, entah dari Pegu, entah dari Malabar.

Oleh karena jarak antarpohon cenderung beraturan, Altma (1922) memperkirakan bahwa hutan jati di Jawa mungkin merupakan hasil penanaman di akhir era Hindu (abad ke-14 hingga ke-16). Ia menduga jika penguasa Jawa masa itu telah menganggap jati sebagai suatu pohon suci. Mereka lantas mengimpor jenis pohon itu dari Kelinga di pantai timur India Selatan sejak abad kedua. Jati memang banyak ditemukan di sekitar candi-candi untuk menghormati Dewa Syiwa. Namun, Simatupang (2000) melihat jika jati telah menyebar jauh lebih luas. Ia menduga penyebaran yang lebih luas ini berkat keterlibatan para petani sekitar candi. Para petani itu sudah melihat kegunaan jati dan budidayanya yang mudah.

Simatupang menduga bahwa, di tempat-tempat tertentu di Jawa yang tidak cocok untuk persawahan, perladangan berpindah dipraktikkan. Perladangan berpindah adalah cara bertani yang biasa dilakukan semasa itu di banyak daerah lain di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Sebelum berpindah ladang, petani-petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur mungkin telah menanam pohon jati. Oleh karena sesuai dengan iklim kering setempat yang kerap menimbulkan kebakaran, jati kemudian menjadi spesies dominan.
[sunting] Daerah sebaran hutan jati di Jawa

Sedini 1927, hutan jati tercatat menyebar di pantai utara Jawa, mulai dari Kerawang hingga ke ujung timur pulau ini. Namun, hutan jati paling banyak menyebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu sampai ketinggian 650 meter di atas permukaan laut. Hanya di daerah Besuki jati tumbuh tidak lebih daripada 200 meter di atas permukaan laut.

Di kedua provinsi ini, hutan jati sering terbentuk secara alami akibat iklim muson yang menimbulkan kebakaran hutan secara berkala. Hutan jati yang cukup luas di Jawa terpusat di daerah alas roban Rembang, Blora, Groboragan, dan Pati. Bahkan, jati jawa dengan mutu terbaik dihasilkan di daerah tanah perkapuran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Saat ini, sebagian besar lahan hutan jati di Jawa dikelola oleh Perhutani, sebuah perusahaan umum milik negara di bidang kehutanan. Pada 2003, luas lahan hutan Perhutani mencapai hampir seperempat luas Pulau Jawa. Luas lahan hutan jati Perhutani di Jawa mencapai sekitar 1,5 juta hektar. Ini nyaris setara dengan setengah luas lahan hutan Perhutani atau sekitar 11% luas Pulau Jawa.
[sunting] Sifat-sifat kayu dan pengerjaan

Kayu jati merupakan kayu kelas satu karena kekuatan, keawetan dan keindahannya. Secara teknis, kayu jati memiliki kelas kekuatan I dan kelas keawetan I. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap.

Kayu teras jati berwarna coklat muda, coklat kelabu hingga coklat merah tua. Kayu gubal, di bagian luar, berwarna putih dan kelabu kekuningan.

Meskipun keras dan kuat, kayu jati mudah dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk membuat furniture dan ukir-ukiran. Kayu yang diampelas halus memiliki permukaan yang licin dan seperti berminyak. Pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras nampak jelas, sehingga menghasilkan gambaran yang indah.

Dengan kehalusan tekstur dan keindahan warna kayunya, jati digolongkan sebagai kayu mewah. Oleh karena itu, jati banyak diolah menjadi mebel taman, mebel interior, kerajinan, panel, dan anak tangga yang berkelas.

Sekalipun relatif mudah diolah, jati terkenal sangat kuat dan awet, serta tidak mudah berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Atas alasan itulah, kayu jati digunakan juga sebagai bahan dok pelabuhan, bantalan rel, jembatan, kapal niaga, dan kapal perang. Tukang kayu di Eropa pada abad ke-19 konon meminta upah tambahan jika harus mengolah jati. Ini karena kayu jati sedemikian keras hingga mampu menumpulkan perkakas dan menyita tenaga mereka. Manual kelautan Inggris bahkan menyarankan untuk menghindari kapal jung Tiongkok yang terbuat dari jati karena dapat merusak baja kapal marinir Inggris jika berbenturan.

Pada abad ke-17, tercatat jika masyarakat Sulawesi Selatan menggunakan akar jati sebagai penghasil pewarna kuning dan kuning coklat alami untuk barang anyaman mereka. Di Jawa Timur, masyarakat Pulau Bawean menyeduh daun jati untuk menghasilkan bahan pewarna coklat merah alami. Orang Lamongan memilih menyeduh tumbukan daun mudanya. Sementara itu, orang Pulau Madura mencampurkan tumbukan daun jati dengan asam jawa. Pada masa itu, pengidap penyakit kolera pun dianjurkan untuk meminum seduhan kayu dan daun jati yang pahit sebagai penawar sakit.

Jati burma sedikit lebih kuat dibandingkan jati jawa. Namun, di Indonesia sendiri, jati jawa menjadi primadona. Tekstur jati jawa lebih halus dan kayunya lebih kuat dibandingkan jati dari daerah lain di negeri ini. Produk-produk ekspor yang disebut berbahan java teak (jati jawa, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur) sangat terkenal dan diburu oleh para kolektor di luar negeri.

Menurut sifat-sifat kayunya, di Jawa orang mengenal beberapa jenis jati (Mahfudz dkk., t.t.):

1. Jati lengo atau jati malam, memiliki kayu yang keras, berat, terasa halus bila diraba dan seperti mengandung minyak (Jw.: lengo, minyak; malam, lilin). Berwarna gelap, banyak berbercak dan bergaris.
2. Jati sungu. Hitam, padat dan berat (Jw.: sungu, tanduk).
3. Jati werut, dengan kayu yang keras dan serat berombak.
4. Jati doreng, berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng hitam menyala, sangat indah.
5. Jati kembang.
6. Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena mengandung banyak kapur. Kurang kuat dan kurang awet.

[sunting] Kegunaan kayu jati
Permukaan mebel jati.

Kayu jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel-sel kayunya, sehingga dapat awet digunakan di tempat terbuka meski tanpa divernis; apalagi bila dipakai di bawah naungan atap.

Jati sejak lama digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal laut, termasuk kapal-kapal VOC yang melayari samudera di abad ke-17. Juga dalam konstruksi berat seperti jembatan dan bantalan rel.

Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sebagai bahan baku furniture, kayu jati digunakan pula dalam struktur bangunan. Rumah-rumah tradisional Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah, menggunakan kayu jati di hampir semua bagiannya: tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir.

Dalam industri kayu sekarang, jati diolah menjadi venir (veneer) untuk melapisi wajah kayu lapis mahal; serta dijadikan keping-keping parket (parquet) penutup lantai. Selain itu juga diekspor ke mancanegara dalam bentuk furniture luar-rumah.

Ranting-ranting jati yang tak lagi dapat dimanfaatkan untuk mebel, dimanfaatkan sebagai kayu bakar kelas satu. Kayu jati menghasilkan panas yang tinggi, sehingga dulu digunakan sebagai bahan bakar lokomotif uap.

Sebagian besar kebutuhan kayu jati dunia dipasok oleh Indonesia dan Myanmar.
[sunting] Fungsi ekonomis hutan jati jawa: hasil hutan kayu

Sebagai jenis hutan paling luas di Pulau Jawa, hutan jati memiliki nilai ekonomis, ekologis, dan sosial yang penting.

Kayu jati jawa telah dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Jati terutama dipakai untuk membangun rumah dan alat pertanian. Sampai dengan masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya mengenal kayu jati sebagai bahan bangunan. Kayu-kayu bukan jati disebut ‘kayu tahun’. Artinya, kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja.

Selain itu, jati digunakan dalam membangun kapal-kapal niaga dan kapal-kapal perang. Beberapa daerah yang berdekatan dengan hutan jati di pantai utara Jawa pun pernah menjadi pusat galangan kapal, seperti Tegal, Juwana, Tuban, dan Pasuruan. Namun, galang kapal terbesar dan paling kenal berada di Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh petualang Tomé Pires pada awal abad ke-16.

VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Kompeni Hindia Timur Belanda) bahkan sedemikian tertarik pada “emas hijau” ini hingga berkeras mendirikan loji pertama mereka di Pulau Jawa —tepatnya di Jepara— pada 1651. VOC juga memperjuangkan izin berdagang jati melalui Semarang, Jepara, dan Surabaya. Ini karena mereka menganggap perdagangan jati akan jauh lebih menguntungkan daripada perdagangan rempah-rempah dunia yang saat itu sedang mencapai puncak keemasannya.

Di pertengahan abad ke-18, VOC telah mampu menebang jati secara lebih modern. Dan, sebagai imbalan bantuan militer mereka kepada Kerajaan Mataram di awal abad ke-19, VOC juga diberikan izin untuk menebang lahan hutan jati yang luas.

VOC lantas mewajibkan para pemuka bumiputera untuk menyerahkan kayu jati kepada VOC dalam jumlah tertentu yang besar. Melalui sistem blandong, para pemuka bumiputera ini membebankan penebangan kepada rakyat di sekitar hutan. Sebagai imbalannya, rakyat dibebaskan dari kewajiban pajak lain. Jadi, sistem blandong tersebut merupakan sebentuk kerja paksa.

VOC kemudian memboyong pulang gelondongan jati jawa ke Amsterdam dan Rotterdam. Kedua kota pelabuhan terakhir ini pun berkembang menjadi pusat-pusat industri kapal kelas dunia.

Di pantai utara Jawa sendiri, galangan-galangan kapal Jepara dan Rembang tetap sibuk hingga pertengahan abad ke-19. Mereka gulung tikar hanya setelah banyak pengusaha perkapalan keturunan Arab lebih memilih tinggal di Surabaya. Lagipula, saat itu kapal lebih banyak dibuat dari logam dan tidak banyak bergantung pada bahan kayu.

Namun, pascakemerdekaan negeri ini, jati jawa masih sangat menguntungkan. Produksi jati selama periode emas 1984-1988 mencapai 800.000 m3/tahun. Ekspor kayu gelondongan jati pada 1989 mencapai 46.000 m3, dengan harga jual dasar 640 USD/m3.

Pada 1990, ekspor gelondongan jati dilarang oleh pemerintah karena kebutuhan industri kehutanan di dalam negeri yang melonjak. Sekalipun demikian, Perhutani mencatat bahwa sekitar 80% pendapatan mereka dari penjualan semua jenis kayu pada 1999 berasal dari penjualan gelondongan jati di dalam negeri. Pada masa yang sama, sekitar 89% pendapatan Perhutani dari ekspor produk kayu berasal dari produk-produk jati, terutama yang berbentuk garden furniture (mebel taman).
[sunting] Manfaat yang lain

Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sebagai pembungkus, termasuk pembungkus makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati terasa lebih nikmat. Contohnya adalah nasi jamblang yang terkenal dari daerah Jamblang, Cirebon.

Daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pembungkus tempe.

Berbagai jenis serangga hama jati juga sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan orang desa. Dua di antaranya adalah belalang jati (Jw. walang kayu), yang besar berwarna kecoklatan, dan ulat-jati (Endoclita). Ulat jati bahkan kerap dianggap makanan istimewa karena lezatnya. Ulat ini dikumpulkan menjelang musim hujan, di pagi hari ketika ulat-ulat itu bergelantungan turun dari pohon untuk mencari tempat untuk membentuk kepompong (Jw. ungkrung). Kepompong ulat jati pun turut dikumpulkan dan dimakan.
[sunting] Fungsi ekonomis lain dari hutan jati jawa

Jika berkunjung ke hutan-hutan jati di Jawa, kita akan melihat bahwa kawasan-kawasan itu memiliki fungsi ekonomis lain di samping menghasilkan kayu jati.

Banyak pesanggem (petani) yang hidup di desa hutan jati memanfaatkan kulit pohon jati sebagai bahan dinding rumah mereka. Daun jati, yang lebar berbulu dan gugur di musim kemarau itu, mereka pakai sebagai pembungkus makanan dan barang. Cabang dan ranting jati menjadi bahan bakar bagi banyak rumah tangga di desa hutan jati.

Hutan jati terutama menyediakan lahan garapan. Di sela-sela pepohonan jati, para petani menanam palawija berbanjar-banjar. Dari hutan jati sendiri, mereka dapat memperoleh penghasilan tambahan berupa madu, sejumlah sumber makanan berkarbohidrat, dan obat-obatan.

Makanan pengganti nasi yang tumbuh di hutan jati misalnya adalah gadung (Dioscorea hispida) dan uwi (Dioscorea alata). Bahkan, masyarakat desa hutan jati juga memanfaatkan iles-iles (Ammorphophallus) pada saat paceklik. Tumbuhan obat-obatan tradisional seperti kencur (Alpina longa), kunyit (Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale), dan temu lawak (Curcuma longa) tumbuh di kawasan hutan ini.

Pohon jati juga menghasilkan bergugus-gugus bunga keputihan yang merekah tak lama setelah fajar. Masa penyerbukan bunga jati yang terbaik terjadi di sekitar tengah hati —setiap bunga hidup hanya sepanjang satu hari. Penyerbukan bunga dilakukan oleh banyak serangga, tetapi terutama oleh jenis-jenis lebah. Oleh karena itu, penduduk juga sering dapat memanen madu lebah dari hutan-hutan jati.

Masyarakat desa hutan jati di Jawa juga biasa memelihara ternak seperti kerbau, sapi, dan kambing. Jenis ternak tersebut memerlukan rumput-rumputan sebagai pakan. Walaupun para petani kadang akan mudah mendapatkan rerumputan di sawah atau tegal, mereka lebih banyak memanfaatkan lahan hutan sebagai sumber penghasil makanan ternak. Dengan melepaskan begitu saja ternak ke dalam hutan, ternak akan mendapatkan beragam jenis pakan yang diperlukan. Waktu yang tidak dipergunakan oleh keluarga petani untuk mengumpulkan rerumputan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya.
[sunting] Fungsi non-ekonomis hutan jati jawa

Pada 2003, sekitar 76% lahan hutan jati Perhutani di Jawa dikukuhkan sebagai hutan produksi, yaitu kawasan hutan dengan fungsi pokok memproduksi hasil hutan (terutama kayu). Hanya kurang dari 24% hutan jati Perhutani dikukuhkan sebagai hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, dan cagar alam.

Mengingat lahannya yang relatif cukup luas, hutan jati dipandang memiliki fungsi-fungsi non-ekonomis yang penting. Fungsi-fungsi non-ekonomis tersebut adalah sebagai berikut:
[sunting] Fungsi penyangga ekosistem

Tajuk pepohonan dalam hutan jati akan menyerap dan menguraikan zat-zat pencemar (polutan) dan cahaya yang berlebihan. Tajuk hutan itu pun melakukan proses fotosintesis yang menyerap karbondioksida dari udara dan melepaskan kembali oksigen dan uap air ke udara. Semua ini membantu menjaga kestabilan iklim di dalam dan sekitar hutan. Hutan jati pun ikut mendukung kesuburan tanah. Ini karena akar pepohonan dalam hutan jati tumbuh melebar dan mendalam. Pertumbuhan akar ini akan membantu menggemburkan tanah, sehingga memudahkan air dan udara masuk ke dalamnya. Tajuk (mahkota hijau) pepohonan dan tumbuhan bawah dalam hutan jati akan menghasilkan serasah, yaitu jatuhan ranting, buah, dan bunga dari tumbuhan yang menutupi permukaan tanah hutan. Serasah menjadi bahan dasar untuk menghasilkan humus tanah. Berbagai mikroorganisme hidup berlindung dan berkembang dalam serasah ini. Uniknya, mikroorganisme itu juga yang akan memakan dan mengurai serasah menjadi humus tanah. Serasah pun membantu meredam entakan air hujan sehingga melindungi tanah dari erosi oleh air.
[sunting] Fungsi biologis

Jika hutan jati berbentuk hutan murni —sehingga lebih seperti ‘kebun’ jati— erosi tanah justru akan lebih besar terjadi. Tajuk jati rakus cahaya matahari sehingga cabang-cabangnya tidak semestinya bersentuhan. Perakaran jati juga tidak tahan bersaing dengan perakaran tanaman lain. Dengan demikian, serasah tanah cenderung tidak banyak. Tanpa banyak tutupan tumbuhan pada lantai hutan, lapisan tanah teratas lebih mudah terbawa oleh aliran air dan tiupan angin.

Untunglah, hutan jati berkembang dengan sejumlah tanaman yang lebih beragam. Di dalam hutan jati, kita dapat menemukan bungur (Lagerstroemia speciosa), dlingsem (Homalium tomentosum), dluwak (Grewia paniculata), katamaka (Kleinhovia hospita), kemloko (Phyllanthus emblica), kepuh (Sterculia foetida), kesambi (Schleichera oleosa), laban (Vitex pubscens), ploso (Butea monosperma), serut (Streblus asper), trengguli (Cassia fistula), winong (Tetrameles nudflora), dan lain-lain. Lamtoro (Leucenia leucocephalla) dan akasia (Acacia villosa) pun ditanam sebagai tanaman sela untuk menahan erosi tanah dan menambah kesuburan tanah.

Daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang gersang dan rusak parah sebelum 1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola penanaman campuran jati dan jenis-jenis lain ini. Dalam selang waktu hampir 30 tahun, lebih dari 60% lahan rusak dapat diubah menjadi lahan yang menghasilkan. Penduduk setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka karena melihat nilai manfaatnya, cara tanamnya yang mudah, dan harga jual kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun dan pekarangan mereka dengan mahoni (Swietenia mahogany), akasia (Acacia villosa), dan sonokeling (Dalbergia latifolia).

Daerah Gunung Kidul kini berubah menjadi lahan hijau yang berhawa lebih sejuk dan memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi. Perubahan lingkungan itu telah mengundang banyak satwa untuk singgah, terutama burung —satwa yang kerap dijadikan penanda kesehatan suatu lingkungan. Selain itu, kekayaan lahan ini sekaligus menjadi cadangan sumberdaya untuk masa depan.
[sunting] Fungsi sosial

Banyak lahan hutan jati di Jawa, baik yang dikukuhkan sebagai hutan produksi maupun hutan non-produksi, memberikan layanan sebagai pusat penelitian dan pendidikan, pusat pemantauan alam, tempat berekreasi dan pariwisata, serta sumber pengembangan budaya.

Yang mungkin paling menarik untuk dikunjungi adalah Monumen Gubug Payung di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Tempat ini merupakan museum hidup dari pepohonan jati yang berusia lebih dari seabad, setinggi rata-rata di atas 39 meter dan berdiameter rata-rata 89 sentimeter.

Kita dapat menikmati pemandangan hutan dari ketinggian dengan menumpang loko “Bahagia”. Di sini, kita juga dapat meninjau Arboretum Jati; hutan buatan dengan koleksi 32 jenis pohon jati yang tumbuh di seluruh Indonesia. Ada juga Puslitbang Cepu yang mengembangkan bibit jati unggul yang dikenal sebagai JPP (Jati Plus Perhutani). Pengunjung boleh membeli sapihan jati dan menanamnya sendiri di sini. Pengelola kemudian akan merawat dan menamai pohon itu sesuai dengan nama pengunjung bersangkutan.

Jenis yang berkerabat

Seluruhnya, ada tiga anggota genus Tectona. Selain jati Tectona grandis yang diuraikan di atas, dua yang lain adalah:

* Jati Dahat (Dahat Teak, Tectona hamiltoniana), sejenis jati endemik di Myanmar, yang kini sudah langka dan terancam kepunahan.
* Jati Filipina (Philippine Teak, Tectona philippinensis), jati endemik dari Filipina; juga terancam kepunahan.

Pada pihak lain, ada pula jenis-jenis pohon atau tumbuhan lain yang dinamai jati meski tidak berkerabat. Di antaranya:

* Jati sabrang atau sungkai (Peronema canescens)
* Jati putih (Gmelina arborea)
* Jati pasir (Guettarda speciosa)

Senin, 16 Agustus 2010

PROSEDUR MENJADI ANGGOTA ASMINDO KOMDA DIY



1. Pemohon merupakan perusahaan yang sudah beroperasi dibidang industri permebelan dan kerajinna, serta berlokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya.
2. Calon anggota mengisi formulir yang telah tersedia di sekretariat ASMINDO KOMDA DIY dan melengkapi persyaratan berupa:
1. Photo copy KTP pemilik/penaggung jawab perusahaan
2. Kelengkapan Ijin-Ijin perusahaan yang masih berlaku
3. Foto ukuran 2 x 3 warna 2 lembar
3. Pengurus KOMDA akan melakukan validasi data yang tercantum dalam formulir permohonan keanggotaan, dan selanjutnya akan diproses ke DPP Asmindo Pusat untuk memperoleh kartu Anggota.
4. Keputusan atas permohonan keanggotaan ini akan diberitahukan kemudian secara tertulis.
5. Calon anggota dianggap sah menjadi anggota ASMINDO KOMDA DIY setelah memenuhi kewajibannya dalam hal uang pangkal dan iuran bulanan Besarnya uang pangkal dan iuran bulanan adalah sebagai berikut:
Uang pangkal Rp. 100.000,-
Iuran sebesar Rp. 50,000,- (untuk perusahaan berbadan hukum PT)
Iuran sebesar Rp. 25.000,- (untuk perusahaan berbadan hukum CV, UD, dll)
6. Iuran bulanan dibayar sekaligus 1 (satu) tahun
7. Ketentuan ini berlaku mulai tanggak 1 Juli 2010


Yogyakarta,18 Juli 2010

ASMINDO KOMDA DIY

Endro Wardoyo
Sekretaris
Welcome to my blog
go to my homepage
Go to homepage